Pemanfaatan limbah tongkol jagung


POTENSI LIMBAH JAGUNG (KULIT, TONGKOL, KLOBOT, JERAMI) SEBAGAI PAKAN TERNAK

PENDAHULUAN

11.    Latar Belakang
Faktor utama penentu keberhasilan dalam usaha peternakan adalah penyediaan pakan. Salah satu penyediaan pakan bagi ternak ruminansia adalah dengan pemanfaatan pakan asal sisa hasil pertanian, perkebunan maupun agroindustri. Salah satu sisa tanaman pangan dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar adalah jagung. Apabila limbah yang banyak tersebut tidak dimanfaatkan, maka akan memicu terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama, yang semakin penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita. Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas. Untuk itu, agar pencemaran limbah dapat diminimalisir perlu adanya pemanfaatan limbah agar mempunyai daya guna.
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetic tebesar. Di Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll.
Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh dengan baik pada tanahtanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5 - 8%, keasaman 5,6 - 7,5 serta suhu antara 27 - 32°C (AzRAIet al., 2007). Selain buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi yang bervariasi dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun, tongkol dan kulit buahjagung (Umiyasih dan Elizabet wina, 2008).
Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Salah satu contoh sampah organik adalah kulit jagung yang merupakan limbah sector pertanian. Limbah kulit jagung yang sudah tak terpakai ini bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan. Sehingga limbah kulit jagung ini tidak menjadi sampah yang mencemari lingkungan. Kerajinan tangan dari kulit jagung bisa bernilai ekonomis. Namun pada dasarnya limbah jagung berupa kulit jagung atau klobot jagung sampai saat ini pemanfaatannya kurang maksimal, padahal jumlahnya sangat melimpah ruah. Jika dibakar menimbulkan pencemaran udara, jika dibuang ke sungai menyebabkan banjir, tumpukannya bisa menyebabkan sarang penyakit.
Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah jerami, klobot, dan tongkol jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai ekonominya sangat rendah. 
Tebon jagung adalah seluruh tanaman jagung termasuk batang, daun dan buah jagung muda yang umumnya dipanen pada umur tanaman 45 – 65 hari (SOEHARSONO dan SUDARYANTO, 2006). Ada pula yang menyebut tebon jagung tanpa memasukkan jagung muda ke dalamnya. Biasanya petani jagung seperti ini bekerja sama dengan peternak besar; petani hanya menanam jagung sebagai hijauan dan pada umur tertentu (masih dalam tahap baru berbuah atau tahap buah muda) seluruh tanaman jagung dipangkas dan dicacah untuk diberikan langsung ke ternak dan atau dimasukkan ke dalam tempat tertutup untuk dibuat silase.
Jerami jagung/brangkasan adalah bagian batang dan daun jagung yang telah dibiarkan mengering di ladang dan dipanen ketika tongkol jagung dipetik. Jerami jagung seperti ini banyak diperoleh di daerah sentra tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan jagung bibit atau jagung untuk keperluan industri pakan; bukan untuk dikonsumsi sebagai sayur (MARIYONO et al., 2004).
Kulit buah jagung/klobot jagung adalah kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat potensial untuk dijadikan silase karena kadar gulanya cukup tinggi (ANGGRAENY et al., 2005; 2006).
Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung dirontokkan dari buahnya. Akan diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel (ROHAENI et al., 2006b).
Tumpi adalah hasil samping yang dihasilkan pada saat pemipilan/perontokan biji jagung selain tongkol dan merupakan bagian pangkal dari biji jagung. Tumpi bersifat kamba (bulky) (PAMUNGKAS et al., 2004).
Homini (empok) adalah hasil samping dari industri jagung semolina yaitu hasil samping dari penggilingan jagung secara kering (dry milling).Terdiri dari germ yang sudah diekstrak minyaknya,endosperm dan kulit luar yang masih menempel pada fraksi ini.
Adapun hasil samping dari industri jagung yang ada di luar negeri (SAUVANT et al., 2004) adalah:
Corn distiller’s adalah hasil samping dari proses distilasi jagung yang terdiri dari biji-biji sisa dan bahan terlarut dalam proporsi yang bervariasi.
Corn gluten feed (CGF) adalah hasil samping dari industri pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari campuran dedak, gluten dan kadang-kadang tercampur dengan bahan konsentrat terlarut dan corn germ. Bahan ini mengandung serat yang mudah tercerna cukup tinggi.
Corn gluten meal (CGM) adalah hasil samping dari industri pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari gluten yang diperoleh ketika pati dipisahkan. Mempunyai warna yang sangat kuning karena mengandung kadar xantofil yang cukup tinggi untuk pewarna kuning telur. Proteinnya merupakan bypass protein yang tinggi.
Maize/corn bran (dedak jagung) adalah hasil samping dari industri tepung jagung atau ”semolina”. Terdiri dari bagian luar biji jagung sebagai komponen utama yang tercampur dengan beberapa fragmen germ dan partikel endosperm.
Maize feed flour adalah hasil samping dari industry tepung jagung atau semolina. Terdiri dari endosperm sebagai komponen utama, fragmen germ dan kulit luar.
Maize germ meal, expeller adalah hasil samping dari industri minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak secara mekanik) yang masih ada endosperm dan kulit luarnya. Maize germ meal, solvent extracted adalah hasil samping dari industri minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak dengan pelarut organik) yang masih ada endosperm dan kulit luarnya.
Distiller’s dried grains with solubles (DDGS) adalah hasil samping dari industri bioetanol. Merupakan campuran dari bahan terlarut dan bahan padatan yang dikeringkan. Fraksi terlarut adalah fraksi cairan setelah alkohol dipisahkan dengan penguapan dan bahan padatan adalah sisa padatan yang dipisahkan setelahfermentasi perubahan pati menjadi alkohol berlangsung. Beberapa hasil samping seperti CGM, DDGS dan CGF sudah masuk ke Indonesia, tetapi ketiga produk ini lebih banyak digunakan oleh pabrik pakan untuk campuran pakan ayam pedaging atau petelur. Saat ini, DDGS sudah mulai diperkenalkan dan digunakan sebagai campuran pakan konsentrat oleh beberapa feedlot di Indonesia (METI, komunikasi pribadi).

22.     Tujuan
Untuk mengetahui proses ata upun cara pengolahan limbah jagung yang merupakan sisah dari hasil pengolahan dari jagung, dan juga untuk mengetahui kandungan nutrisi pada limbah tersebut.

33.     Manfaat
Manfaat yang dapat kita peroleh ialah kita dapat mengtahui kandungan nutrisi pada limbah jagung, dan juga kita dapat menggunakan atau mengolah limbah tersebut sebagai bahan pakan untuk ternak.

SELUK BELUK KEBERADAN BAHAN PAKAN
1.     JUMLAH DAN KANDUNGA LIMBAH JAGUNG
Jagung (Zea mays) adalah merupakan tanaman pangan yang penting di Indonesia. Pada tahun 2006, luas panen jagung adalah 3,5 juta hektar dengan produksi rata-rata 3,47ton/ha, produksi jagung secara nasional 11,7 juta ton. Menurut Prasetyo (2002) limbah batang dan daun jagung kering adalah 3,46 ton/ha sehingga limbah pertanian yang dihasilkan sekitar 12.1juta ton. Dengan konversi nilai kalori 4370 kkal/kg (Sudradjat, 2004) potensi energi limbah batang dan daun jagung kering sebesar 66,35 GJ. Energi tongkol jagung dapat dihitung dengan menggunakan nilai Residue to Product Ratio (RPR) tongkol jagung adalah 0,273 (pada kadar air 7,53%) dan nilai kalori 4451 kkal/kg (Koopmans and Koppejan, 1997; Sudradjat, 2004). Potensi energi tongkol jagung adalah 55,75 GJ.
Konsentrat sumber energi adalah bahan makanan ternak yang tinggi kandungan energi dan rendah kandungan serat kasar (<18%), serta umumnya mengandung protein yang lebih rendah dari 20%.
Sifat tongkol jagung yang memiliki kandungan karbon yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengeringkan 6 ton jagung dari kadar air 32.5% sampai 13.7% bb selama 7 jam diperlukan sekitar 30 kg tongkol jagung kering per jam (Alkuino 2000).
Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1, 2 dan 3). Kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%) (MCCTUCHEON dan SAMPLES, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hamper sama dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).

2.     CARA MEMPEROLEH

·       Kualitas
Palatabilitas tongkol jagung yang rendah masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia dengan pengolahan terlebih dahulu (Wardhani dan Musofie, 1991). Peningkatan kualitas nutrisi pada tongkol jagung melalui pengurangan ukuran partikel dan fermentasi secara nyata dapat meningkatkan protein kasar, namun tidak mampu memperbaiki nilai nutrisi pada serat kasar maupun pada total digestible nutrients (TDN).
Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny et al. (2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia, Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi Anggraeny et al. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah.
Brangkasan jagung baik diberikan untuk ternak sapi karena mengandung serat dan protein yang cukup. Pakan dari brangkasan jagung memiliki kualitas yang lebih baik dari jerami padi, karena brangkasan jagung memiliki kandungan serat kasar 27,8% dan protein 7,4% sementara padi kandungan serat kasar 28,8% dan protein 4,5% (Subandi dan Zubachtirodin, 2004).
Beberapa pendekatan untuk meningkatkan mutu limbah hasil petanian dan perkebunan sebagai pakan ternak telah dikembangkan, antara lain melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah pertanian dan perkebunan.


·       Proses
Peningkatan mutu limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak umumnya dilakukan melalui pengolahan terlebih dahulu sebelum limbah pertanian dan perkebunan diberikan kepada ternak, yang secara garis besarnya terdiri dari:
1.     Perlakuan fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil, penggilingan, pemanasan, perendaman, pengeringan atau penyinaran.
2.     Perlakuan kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti penambahan NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida.
3.     Perlakuan biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim, atau menumbuhkan jamur dan bakteri.
4.     Kombinasi diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.
Metoda fisik yang terdiri dari pemotongan, pemanasan, penggilingan, pengeringan dan penyinaran diketahui tidak akan merubah nilai nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh karena itu pendekatan ini jarang dilakukan dalam penyediaan pakan untuk ternak. Namun demikian metoda ini khususnya pemanasan dan pengeringan dapat digunakan untuk mengurangi toksisitas suatu tanaman.
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil limbah tanaman jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal penanaman setelah jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan (MCCUTCHEON dan SAMPLES, 2002).
Dalam memanfaatkan limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian dan perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak. Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. Indraningsih et al., (2004) melakukan serangkaian pengamatan penggunaan limbah hasil pertanian organic sebagai pakan terhadap residu pestisida pada produk ternak.


3.     KENDALA PEMANFAATAN SEBAGAI PAKAN TERNAK

Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar dimana tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose (lignoselulose), dan masing-masing merupakan senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. Selulose merupakan sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat  dalam proses fermentasi untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002).
Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang masih memiliki kualitas yang rendah. Tongkol jagung digunakan sebagai bahan konsentrat pada pakan ternak ruminansia. Kandungan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya sebagai bahan pakan, tongkol jagung perlu ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan teknologi pengolahan amoniasi fermentasi (amofer).
Limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan kadar serat yang tinggi dan juga mudah ditumbuhi cendawan pada kondisi suhu panas.. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi atau diberi perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk mempertahankan kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau bila hendak dibuat silase (Kaiser dan Piltz, 2002).
Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak, ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target utamanya. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (Sabrani dan Setioko, 1983; Indraningsih, 1988; Njau, 1988).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi yang meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan kematian ternak (Indraningsih, 1988). Disamping itu residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang berlebihan tanpa mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh produsen. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan karsinogenik (Goebel et al., 1982; Varsheya et al., 1988).
Jagung mudah ditumbuhi cendawan (mikotoksin) bila kadar airnya lebih dari 14% atau aw = 0,62. Cendawan akan lebih mudah tumbuh kalau jagung basah disimpan di ruangan yang panas dan lembab. Apabila cendawan yang tumbuh menghasilkan racun maka racun tersebut berpengaruh buruk terhadap ternak. Beberapa jenis racun cendawan atau mikotoksin ditemukan pada jagung, termasuk aflatoksin, T-2 toksin, zealarenon, dan DON. Racun aflatoksin hampir selalu dijumpai pada jagung di Indonesia dengan kadar bervariasi antara 20-2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati 2006). Racun ini dapat menimbulkan kanker hati pada ternak terutama itik yang sangat sensitif terhadap racun aflatoksin dan menekan kekebalan tubuh sehingga dapat menurunkan produksi.
Jagung juga mengandung senyawa anti nutrisi berupa asam fitat yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam tubuh (Proll et al. 1998; Faber et al. 2005; Onofiok dan Nnanyelugo 2006). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat) merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan leguminosa. Di dalam biji, fitat merupakan sumber fosforus dan inositol utama bagi tanaman, terdapat dalam bentuk garam dengan kalium, kalsium, magnesium, dan logam lain. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan baik dengan mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh, atau nilai cernanya rendah, oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan. Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH, atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan terbentuknya garam fitat yang sukar larut.
Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong plastik, dibutuhkan suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus biasanya merupakan penyebab utama kantong plastic robek/bocor. Kendala lain adalah tidak adanya tambahan modal untuk menyediakan/membeli kantong plastik atau ember/drum plastik. Kurangnya waktu untuk membuat silase karena petani biasanya sibuk untuk mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih dahulu. Selain dibuat hay dan silase, limbah jagung dapat juga diamoniasi. Amoniasi dapat dilakukan sebelum dibuat silase dengan menambahkan urea sebanyak 34 g per kg limbah. Literatur mengenai proses amoniasi jerami jagung masih terbatas, sebaliknya amoniasi telah sering dilakukan untuk limbah pertanian yang lain misalnya jerami padi. Sifat basa dalam proses amoniasi akan membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan oleh mikroba-mikroba di dalam rumen.
4.     CARA MENGATASI
Pengolahan Limbah Jagung
Upaya peningkatan kualitas tongkol jagung sebagai pakan ruminasia dapat dilakukan dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi atau gabungan perlakuan tersebut. Perlakuan fisik dengan pencacahan dapat digabungkan dengan perlakuan kimiawi berupa amoniasi dan perlakuan biologi yaitu fermentasi menggunakan starter mikrobia sellulolitik. Salah satu fungsi amoniasi adalah memutus ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa serta menyediakan sumber N untuk mikrobia, sedangkan fungsi fermentasi adalah dapat menurunkan serat kasar dan sekaligus meningkatkan kecernaan bahan pakan berserat. Proses fermentasi bertujuan menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus meningkatkan kadar protein kasar (Tampoebolon, 1997). Penggunaan teknologi amoniasi fermentasi, dapat meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung dengan menurunkan kandungan serat kasar, serta meningkatkan kecernaan tongkol jagung, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pakan yang baik untuk ternak ruminansia.   
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil limbah tanaman jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Di Indonesia, kebanyakan petani akan memberikan tanaman jagung secara langsung kepada ternaknya tanpa melalui proses sebagaimana yang dilakukan oleh peternak komersial sapi perah yang ada di Sumatera Utara (Sitepu, komunikasi pribadi) ataupun di Jawa Timur (Wibowo, komunikasi pribadi).
Di daerah Indonesia bagian Timur, jerami jagung selain diberikan dalam bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet seperti pelet, cubes dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al., 2006). Sedangkan di Amerika dan negara lain seperti Argentina dan Brazil yang merupakan negara produsen jagung, limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon dan Samples, 2002). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal penanaman setelah jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Beberapa teknologi pengolahan limbah jagung yang telah dikenal antara lain adalah:
·       Pembuatan hay
Di Indonesia, hay dengan mudah dibuat dengan membiarkan sisa panen jagung di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang kering, Di luar negeri yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah dan waktu panen sudah mendekati musim dingin, maka pembuatan hay harus menggunakan mesin pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai gelondongan kemudian ditutup dengan plastik agar tidak kehujanan untuk digunakan sebagai persediaan pakan ternak selama musim dingin. Penyimpanan hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Kondisi yang panas dan lembab di Indonesia sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay yang menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.

·       Pembuatan silase
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh tanaman termasuk buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang berupa tanaman jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Limbah dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (NUSIO, 2005).
Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak 100% maka bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam laktat menjadi asam butirat (DRIEHUIS dan GIFFEL, 2005). Bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase. Mikroba yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (NUSIO, 2005).
Proses silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu bila tidak ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau sedikit harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi ternak. Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah dilaporkan untuk melihat pengaruh jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan sebagainya. terhadap kualitas silase maupun performans ternak (JOHNSON et al., 2003; NEYLON dan KUNG, 2003), namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini tetap saja rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kekurangan pakan berkualitas.

·       Fermentasi
Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. PAMUNGKAS et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapat mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan meningkat. Sedangkan ROHAENI et al. (2006a) menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/penggiling tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung. Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga banyak digunakan untuk memfermentasi limbah-limbah pertanian. Tongkol dicampur dengan jamur Trichoderma dan dibiarkan selama 4 – 7 hari dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan bahan menjadi lebih palatabel bagi ternak.
Pemanfaatan tongkol jagung sebagai komponen ransum domba belum banyak dilakukan karena sifat fisik yang keras ditambah dengan nilai nutrisinya yang rendah, sehingga diperlukan upaya pengolahan lebih lanjut untuk memperbaiki nilai nutrisinya. Perkembangan teknologi pascapanen jagung dalam menghasilkan jagung pipilan kering telah mampu menghasilkan limbah berupa tongkol jagung dengan ukuran partikel yang lebih kecil sehingga memungkinkan digunakan sebagai komponen ransum domba. Namun pada kondisi seperti ini, nilai nutrisi tongkol jagung tidak mengalami perubahan sehingga bentuk pengolahan lain yang dapat meningkatkan nilai nutrisinya masih perlu dilakukan. Salah satu metode pengolahan yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan jasa teknologi fermentasi menggunakan kapang Neurospora sitophila.
Menurut Rachman (1989) fermentasi merupakan proses yang melibatkan aktifitas mikroba untuk memperoleh energi melalui pemecahan substrat yang berguna untuk keperluan metabolisme dan pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pakan sebagai akibat dari pemecahan kandungan zat makanan dalam bahan pakan tersebut. Lebih lanjut dikemukakan oleh Winarno, dkk (1980) bahwa hasil fermentasi terutama tergantung pada substrat, jenis mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Pada proses fermentasi, mikroba akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan didalam substrat. Perubahan kimia yang terjadi didalam substrat diakibatkan oleh aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut yang meliputi perubahan molekul komplek seperti karbohidrat, protein, dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna.
Proses fermentasi menggunakan kapang Neurospora sp dapat menghasilkan perubahan nilai nutrisi tongkol jagung, karena Neurospora sp mengandung sejumlah spora yang pada pertumbuhannya mampu menghasilkan enzim amilolitik, proteolitik dan lipolitik serta adaptip terhadap lingkungan aerobik sehingga dapat menguraikan komponen zat makanan didalam substrat menjadi komponen yang lebih kecil, lebih mudah larut dan menghasilkan aroma yang khas (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Neurospora sitophila sebagai kapang kelas Ascomycetes,merupakan soft rot fungi yang dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulolitik (Amer dan Stephen, 1980). Neurospora sitophila mudah tumbuh dan cepat menghasilkan keturunan, kapang ini dapat tumbuh baik pada kelembaban yang tinggi dan mempunyai suhu pertumbuhan antara 200 C sampai 300 C pada kondisi aerobic (Judoamidjojo, dkk, 1989). Neurospora sitophila termasuk kapang mesophilik yang memiliki suhu optimum pertumbuhan sekitar 300 C dengan angka kelembaban sekitar 70 % sampai 90 %, sedangkan pH lingkungan yang dibutuhkannya berkisar antara 4,5 – 6,5 (Steinkraus, dkk. 1965).


5.     PEMBERIAN PADA TERNAK

Limbah jagung dalam bentuk kering, untuk ternak ruminansia dapat diberikan 30 – 40% dari jumlah pakan yang diberikan. Bila diberikan diatas komposisi tersebut menyebabkan kandungan gizi yang didapat oleh ternak kurang berimbang, akibatnya ternak akan menerima kelebihan energi namun mengalami defisiensi protein (Saun, 1991 dalam Yasa dan Adijaya, 2004).
Penggunaan tongkol jagung yang telah difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 50% dalam konsentrat pada sapi PO yang mendapat pakan basal jerami padi mampu menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBBH) yang tidak berbeda nyata dengan sapi PO yang diberi pakan konsentrat tanpa tongkol jagung, sehingga penggunaan tongkol jagung dalam konsentrat sebanyak 50% mampu meningkatkan nilai keuntungan (Anggraeny et al., 2008).
Menurut Tangendjaja dan Gunawan, (1988), menyatakan bahwa janggel jagung banyak digunakan terutama untuk penggemukan sapi, dengan komposisi sebanyak 20% dari seluruh pakan yang diberikan. Jika seluruh pakan sapi sebanyak 7,5 kg/ekor/hari maka komposisi 20% menjadi 1,5 kg/ekor/hari. Jika dalam 1 ha tanaman jagung dihasilkan 2.748 kg janggel jagung (Varietas Bima-4), dengan pemberian 1,5 kg janggel/ekor/hari, akan dapat memenuhi kebutuhan sapi sebanyak 5,02 ekor/tahun. Bila luas penanaman jagung di NTB tahun 2010 seluas 97.120 ha, maka akan dapat memenuhi pakan sapi sebanyak 487.542 ekor.
Silase jagung HC (dipotong setinggi 45,7cm dari tanah) mempunyai kecernaan NDF yang lebih tinggi. Sapi laktasi yang diberi pakan silase ini, produksi susunya yang cenderung lebih tinggi dibanding yang diberi silase jagung NC (dipotong setinggi 12,7 cm dari tanah) (Neylon and Kung 2003).
Di Irlandia Utara, silase jagung digunakan untuk menggantikan sebagian silase rumput yang telah digunakan terlebih dahulu dan penelitian menunjukkan bahwa pemberian silase jagung dapat meningkatkan konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari, lebih tinggi dari kontrol). Begitu pula, produksi, lemak, dan protein susu masing-masing lebih tinggi 1,4 kg/hari, 0,6 g/kg, dan 0,8 g/ kg dari kontrol (Keady 2005).
Di beberapa kabupaten di Indonesia, telah dilakukan pengkajian integrasi jagung dengan ternak, terutama sapi. Dibandingkan dengan pakan tradisional, pemberian limbah tanaman jagung dalam bentuk hay, silase, atau fermentasi dapat meningkatkan bobot badan harian sapi (Anggraeny et al. 2005, Rohaeni et al. 2006, Sariubang et al. 2006). Di Jawa Timur, pemberian tumpi jagung meningkatkan bobot badan ternak dan mengurangi biaya pakan (Pamungkas et al. 2006). Penggunaan tongkol jagung sebagai sumber serat bagi ternak ruminansia perlu diikuti oleh penambahan bahan lain sebagai sumber protein, mineral, dan vitamin agar ternak dapat tumbuh optimum. Sistem usahatani integrasi jagung dengan sapi juga mampu memberikan keuntungan yang lebih besar, karena lebih efisien dalam penyediaan pakan ternak dan bahan organik.
Di luar negeri, silase limbah perkebunan jagung telah umum digunakan sebagai sumber hijauan dan dipakai untuk menggantikan sebagian silase rumput (KEADY, 2005). Pengkajian berbagai bentuk silase tanaman jagung di peternakan sapi potong dan sapi perah telah dilakukan di berbagai negara (TJARDES et al., 2002; BAL et al., 2000; NEYLON dan KUNG, 2003; KEADY, 2005). Pemberian silase jagung yang berbeda kandungan NDFnya (34 dan 51%) kepada dua bangsa sapi (Angus dan Holstein) memberikan respon yang berbeda. Kandungan NDF yang lebih tinggi menurunkan konsumsi bahan kering silase jagung pada kedua bangsa sapi tersebut tetapi jumlah energy tercerna pada bangsa sapi Angus lebih tinggi dari pada Holstein (TJARDES et al., 2002). Dari sembilan studi di Irlandia Utara, silase seluruh tanaman jagung yang dipakai menggantikan silase rumput dapat meningkatkan konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari), PBHH (0,23 kg/hari) dan berat karkas (12 kg). Begitu pula hasil dari beberapa penelitian pada sapi perah, menghasilkan hasil positif yaitu meningkatnya konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari), produksi susu (1,4 kg/hari), lemak susu (0,6 g/kg) dan konsentrasi protein susu (0,8 g/kg) (KEADY, 2005). Pemberian silase tanaman jagung kepada sapi potong menghasilkan performans reproduksi yang tidak berbeda nyata bila disuplemen dengan konsentrat campuran jagung dan bungkil kedelai dibandingkan dengan bungkil kanola (HOWLETT et al., 2003).
Pemberian jerami jagung, tumpi atau tongkol ada kalanya dicampur dengan sumber serat lainnya seperti rumput Gajah (MARIYONO et al., 2004) atau jerami padi (UMIYASIH et al., 2004). Hal ini dilakukan bila ketersediaan sumber serat lain melimpah. Pemberian pakan tambahan/suplemen selain jerami, tumpi atau tongkol jagung dapat meningkatkan PBHH. Pemberian jerami jagung yang difermentasi tanpa pakan konsentrat memberikan PBHH sapi yang paling rendah (0,46 kg/hari) dibandingkan dengan penelitian lain. Sedangkan pemberian pakan suplemen seperti dedak menyebabkan PBHH yang lebih baik (MARIYONO et al., 2005). PBHH akan semakin tinggi bila pemberian jerami disertai dengan konsentrat dan juga suplemen multi nutrien (ANGGRAENY et al., 2005), atau vitamin dan mineral (UMIYASIH et al., 2006).
Pemberian silase jagung yang berbeda kandunganNDFnya (34 dan 51%) kepada dua bangsa sapi (Angus dan Holstein) memberikan respon yang berbeda. Kandungan NDF yang lebih tinggi menurunkan konsumsi bahan kering silase jagung pada kedua bangsa sapi tersebut tetapi jumlah energy tercerna pada bangsa sapi Angus lebih tinggi dari pada Holstein (TJARDES et al., 2002). Dari sembilan studi di Irlandia Utara, silase seluruh tanaman jagung yang  dipakai menggantikan silase rumput dapat meningkatkan konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari), PBHH (0,23 kg/hari) dan berat karkas (12 kg). Begitu pula hasil dari beberapa penelitian pada sapi perah, menghasilkan hasil positif yaitu meningkatnya konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari), produksi susu (1,4 kg/hari), lemak susu (0,6 g/kg) dan konsentrasi protein susu (0,8 g/kg) (KEADY, 2005). Pemberian silase tanaman jagung kepada sapi potong menghasilkan performans reproduksi yang tidak berbeda nyata bila disuplemen dengan konsentrat campuran jagung dan bungkil kedelai dibandingkan dengan bungkil kanola (HOWLETT et al., 2003)
KANDUNGAN ZAT MAKANAN
Komposisi limbah tanaman jagung
Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh dengan baik pada tanahtanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5 – 8%, keasaman 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 32ºC (AZRAI et al., 2007). Selain buah ataubijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi yang bervariasi dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun, tongkol dan kulit buah j
agung (Tabel 1). Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun tongkol (WILSON et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang hampir sama dilaporkan oleh ANGGRAENY et al. (2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia, Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi ANGGRAENY et al. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah.

Nilai nutrisi
Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1, 2 dan 3). Kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%) (MCCTUCHEON dan SAMPLES, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).






Kandungan nutrisi pada tongkol jagung adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Proporsi limbah tanaman jagung, kadar protein kasar dan nilai kecernaan bahan keringnya


Limbah jagung


Kadar air
(%)

Proporsi limbah
(% BK)

Protein kasar
(%)


Kecernaan BK in vitro (%)

Batang
Daun
Tongkol
Kulit jagung


70 – 75
20 – 25
50 – 55
45 – 50

50
20
20
10

3,7
7,0
2,8
2,8

51
58
60
68
Sumber: MCCUTCHEON dan SAMPLES (2002); WILSON et al. (2004)


·       Protein Kasar
Kisaran kandungan protein kasar tongkol jagung hasil bioproses menggunakan kapang Neurospora sitophila dengan suplementasi sulpur dan nitrogen adalah 9,30% yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan suplementasi 0,02 % sulpur dengan 1,00 % nitrogen sampai 21,28 % pada fermentasi dengan suplementasi 0,04 % sulpur dengan 2,50 % nitrogen. Uji statistic menggunakan Sidik Ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan protein kasar, hasilnya menunjukan bahwa terdapat interaksi pengaruh antara suplementasi sulpur dan nitrogen terhadap peningkatan kandungan protein kasar tongkol jagung hasil bioproses kapang Neurospora sitophila.
Kandungan protein kasar tertinggi dicapai pada suplementasi 0,04 % sulpur dengan 2,50 % nitrogen, yaitu sebesar 21,94 %. Peningkatan protein kasar substrat terjadi sebagai akibat adanya suplementasi nitrogen dalam bentuk urea yang ditambahkan pada saat fermentasi dilakukan, dimana kandungan nitrogen pada urea yang digunakan cukup tinggi, yaitu sekitar 46,60 %. Sehingga perlakuan suplementasi urea sebanyak 2,50 % sebagai sumber nitrogen dapat menghasilkan kandungan proitein kasar yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan suplementasi urea 1,00 %, 1,50 % dan 2,00 % pada tongkol jagung hasil fermentasinya. Dibandingkan dengan kandungan protein kasar tongkol jagung tanpa perlakuan (3,96 %) terjadi peningkatan kandungan protein kasar yang cukup tinggi pada tongkol jagung hasil bioproses menggunakan kapang Neurospora sitophila dengan penambahan sulpur dan nitrogen, yaitu sekitar 4,5 kali lebih besar.  Selain itu, peningkatan protein kasar pada tongkol jagung hasil fermentasi dapat terjadi juga akibat adanya pertumbuhan dan perkembangbiakan kapang Neurospora sitophila karena menurut Saono (1978) kandungan protein kapang Neurospora sitophila cukup tinggi, yaitu sekitar 31 % sampai 50 %. Sehingga sumbangannya terhadap kandungan protein kasar produkfermentasi yang dihasilkan cukup tinggi.


·       Lemak Kasar
Peningkatan penambahan sulpur sampai 0,08 % menunjukan kenaikan kandungan lemak kasar yang berbeda sangat nyata, namun peningkatan penambahan sumber nitrogen dalam bentuk urea menghasilkan penurunan kandungan lemak pada tongkol jagung hasil bioproses. Kandungan lemak kasar mencapai angka tertinggi pada kombinasi perlakuan penambahan sulpur 0,08 % dengan nitrogen 1,50 %, yaitu sebesar 4,64 %. Dibandingkan dengan kandungan lemak kasar pada tongkol jagung tanpa pengolahan dengan bioproses (2,08 %) terjadi kenaikan kandungan lemak kasar sebesar 123,07 %. Hal ini diduga terjadi karena pertumbuhan kapang Neurospora sitophila pada taraf kombinasi pemberian sulpur 0,08 % dengan nitrogen 1,50 % mencapai pertumbuhan maksimal sehingga memberikan sumbangan terhadap peningkatan kandungan lemak kasar produk fermentasinya. Seperti dikemukakan oleh Pusponegoro (1975) bahwa proses fermentasi dapat menimbulkan perubahan fisik dan kimia dari senyawa organik substrat akibat aktifitas mikroba, dikemukakan juga bahwa mikroba dapat digunakan untuk memproduksi senyawa kimia tertentu atau mengubah substansi asal menjadi substansi lain yang dikehendaki.
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), perubahan yang terjadi selama proses fermentasi berlangsung dapat terjadi pada lemak dalam substrat, lemak netral akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas, dan yang terbanyak dihasilkan adalah asam linoleat dimana sebanyak 40 % akan digunakan untuk pertumbuhan jamur. Hal ini terjadi pada beberapa kombinasi penambahan sulpur dan nitrogen yang terlihat dapat  menurunkan kandungan lemak kasar substrat seperti pada perlakuan kombinasi penambahan sulpur 0,02 % dengan nitrogen 2,50 %. Angka penurunannya cukup besar, yaitu 47,59 % dibandingkan dengan kandungan lemak kasar pada tongkol jagung uang belum diolah. Tetapi kemudian terjadi peningkatan pada kombinasi penambahan sulpur dan nitrogen yang lain, seperti pada kombinasi penambahan sulpur 0,08 % dengan nitrogen 1,50 % karena pada taraf kombinasi tersebut terjadi pertumbuhan yang maksimal pada kapang Neurospora sitophila.

·       Serat Kasar
Suplementasi unsur mineral sulpur dan nitrogen pada bioproses tongkol jagung menggunakan kapang Neurospora sitophila menghasilkan kandungan serat kasar yang bervariasi dengan kisaran antara 27,25 % sampai 32,12 %. Hasil analisis Sidik Ragam menunjukan bahwa suplementasi sulpur dan nitrogen memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap penurunan kandungan serat kasar tongkol jagung hasil bioproses. Hasil ini menunjukan bahwa proses fermentasi tongkol jagung oleh kapang Neurospora sitophila dengan penambahan sulpur dan nitrogen pada dosis 0,08 % dan 2,50 % telah menunjukan perubahan komponen serat kasar tongkol jagung sebagai substrat pada proses fermentasi tersebut, seperti dikemukakan oleh Dekker (1981) bahwa kapang Neurospora sitophila yang ditumbuhkan pada media yang banyak mengandung selulosa seperti tongkol jagung akan dihasilkan enzim β-glukosidase yang memiliki aktifitas selulolitik dan merupakan enzim terpenting dalam hidrolisis selulosa.
Kandungan serat kasar tongkol jagung hasil bioproses menggunakan kapang Neurospora sitophila dengan suplementasi sulpur dan nitrogen paling rendah ditunjukan pada perlakuan penambahan 0,08 % sulpur dan 2,50 % nitrogen, yaitu sebesar 27,25 %. Dibandingkan dengan angka tertinggi kandungan serat kasar pada perlakuan penambahan 0,02 % sulpur dan 1,00 % nitrogen, yaitu sebesar 32,12 % terjadi penurunan cukup besar, yaitu sekitar 15,16 %.
 Penurunan kandungan serat kasar ini terjadi karena adanya proses fermentasi oleh kapang Neurospora sitophila dengan suplementasi sulpur dan nitrogen. Menurut Basuki dan Wiryasasmita (1987), dan Irawadi (1991), proses fermentasi akan mengakibatkan terjadinya pemecahan ikatan kompleks lignoselulosa menjadi ikatan yang lebih sederhana dalam bentuk selulosa sehingga selulosa mudah dipecah oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba. Menurut Cain (1980), serat kasar merupakan komponen utama yang banyak mengandung karbohidrat struktural sumber energi bagi jamur, disamping bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), sehingga sebagian fraksi serat kasar digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan kapang Neurospora sitophila, terutama untuk pertumbuhan misellium dengan cara mendegradasi serat kasar menggunakan kerja enzim selulase yang dihasilkannya. Akibatnya terjadi penurunan kandungan serat kasar pada substrat yang digunakan sebagai media fermentasi.
              
·        Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tongkol jagung hasil bioproses menggunakan kapang Neurospora sitophila dengan suplementasi sulpur dan nitrogen bervariasi antara 46,60 % sampai dengan 54,37 %. Hasil uji Sidik Ragam menunjukan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara penambahan sulpur dengan nitrogen dan pengaruh perlakuan yang diberikan tersebut menunjukan hasil berbeda nyata terhadap kandungan BETN.
Jerami jagung yang kering ataupun yang dibuat silase tidak dapat digunakan sebagai sumber karotenoid karena kandungan karotenoidnya sangat rendah yaitu 70 – 80 mg/kg, terdiri dari 3 – 10 mg/kg epilutein, 25 – 37 mg/kg lutein, 6 – 10 mg/kg zeaxanthin, 24 – 35 mg/kg β- karoten (NOZIERE et al., 2006). Oleh sebab itu, bila sapi perah diberi silase jerami jagung sebagai sumber hijauan, sangat dianjurkan untuk memberikan tambahan β-karoten dari sumber lain karena kebutuhan karoten dan vitamin A sapi perah yang tinggi yaitu masing-masing 280 IU/kg bobot hidup dan 110 IU/ kg bobot hidup per hari (NRC, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan kadar serat yang tinggi. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi atau diberi perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk mempertahankan kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau bila hendak dibuat silase (KAISER dan PILTZ, 2002).

Comments

Popular posts from this blog

1 kg jagung berapa buah

Jenjet jagung

Sistem tanam jajar legowo pada tanaman jagung