Kandungan gizi tongkol jagung
Jagung memegang peranan penting sebagai salah satu komponen utama pakan ternak. Hal ini tergambar dari kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak dalam negeri yang mencapai 14,7 juta ton per tahun. Dari angka kebutuhan jagung tersebut bisa dibayangkan banyaknya limbah tongkol jagung yang berpotensi sebagai pakan alternatif.
Peneliti di Balai Penelitian Ternak (Balitbangnak) Ciawi, Bogor, Dwi Yulistiani memanfaatkan limbah tongkol jagung menjadi pakan alternatif yang bisa dikonsumsi sapi, domba, kambing, maupun ternak lainnya. “Penelitian ini saya lakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah tongkol jagung menjadi pakan alternatif pengganti rumput,” katanya.
Penelitian ini terdorong oleh keprihatinan Dwi melihat daerah bercurah hujan rendah atau kering seperti Nusa Tenggara Timur, Purwodadi, Demak, dan Tuban yang kesulitan untuk memperoleh hijauan atau rumput. Penelitian ini diharapkan bisa membantu peternak yang kesulitan memperoleh rumput atau hijauan untuk beralih memanfaatkan pakan dari limbah tongkol jagung.
Penelitian mengenai pemanfaatan limbah tongkol jagung telah dilakukan Dwi sejak 2009 lalu. Dia menginformasikan, selama ini tongkol jagung lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar bioetanol setelah difermentasi. Sedangkan sebagai pakan ternak belum banyak dikembangkan secara optimal.”Hal ini mungkin karena kualitasnya relatif rendah seperti limbah pertanian lainnya, paling tongkol jagung hanya digiling dipakai untuk campuran ransum sapi potong,” ujarnya.
Selain pemanfaatannya yang belum optimal, tongkol jagung juga mudah terkontaminasi kapang Aspergilus flavusyang memproduksi senyawa beracun. Karena itu, perlu dicari metode pengawetan tongkol jagung agar bisa disimpan dalam jangka waktu lama sekaligus digunakan sebagai pakan alternatif. ”Saya berusaha mengubah limbah tongkol jagung menjadi pakan alternatif dengan nutrisi yang lebih baik dan memiliki masa waktu yang panjang untuk penyimpanan,” terang Dwi.
Tingkatkan Nutrisi
Dwi mengatakan, tongkol jagung yang belum diolah hanya memiliki kandungan protein sekitar 2,94 % dengan kadar lignin 5,2 %, selulosa yang tinggi hingga 30 %, dan tingkat kecernaan sampai 40 %. Sedangkan untuk rumput memiliki kandungan protein sekitar 6 %. ”Kebutuhan protein ternak minimal dikisaran 6–8 %. Karena itu harus dilakukan beberapa perlakuan untuk meningkatkan nutrisi dari limbah tongkol jagung,” katanya menjelaskan.
Ada 3 metode yang dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrisi maupun palatabilitas (kemampuan untuk mencerna) yakni proses ensilasi, amoniasi, atau fermentasi. Menurutnya, tiap proses memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Untuk proses ensilasi atau pengolahan silase tongkol jagung dilakukan dengan melembabkan tongkol jagung yang telah digiling dicampurkan dengan air sampai di dapat kadar air campuran 60 % dengan bahan kering sekitar 30 – 40 %. Lalu tongkol jagung dimasukkan dalam plastik dan dipadatkan pada kondisi kedap udara dan disimpan di temperatur ruang selama tiga minggu.
”Dalam proses ensilasi hanya mengubah bentuk karbohidrat yang ada di tongkol jagung menjadi asam laktat, sehingga hanya tingkat palatabilitasnya saja yang naik namun nutrisinya tidak naik. Kadar proteinnya pun hanya naik sedikit menjadi 4,4 % saja,” ungkap Dwi.
Lain halnya dengan proses amoniasi yang mampu meningkatkan kandungan nutrisi dari limbah tongkol jagung hingga 9 %. Proses amoniasi dilakukan dengan cara tongkol jagung digiling kemudian dilembapkan dengan air untuk mendapatkan kadar air 40 % atau 60 % bahan kering. Proses ini merupakan kebalikan dari proses ensilasi yang memanfaatkan 60 % air dan 40 % bahan kering. Air yang digunakan untuk melembabkan tongkol jagung tersebut sebelumnya telah ditambahkan urea 3 % dari bobot kering tongkol jagung.
Campuran diaduk merata kemudian disimpan dalam plastik selama 3 minggu dalam keadaan kedap udara pada suhu ruangan. Setelah 3 minggu tongkol jagung dikeluarkan dari dalam plastik dan dibiarkan semalaman di udara terbuka untuk menguapkan sisa amonia yang tidak terikat dengan tongkol jagung.
”Dari proses amoniasi dapat meningkatkan nutrisi dari tongkol jagung setara dengan rumput bahkan lebih baik namun tingkat palatabilitasnya di ternak lebih rendah. Sebaiknya pemberiannya dicampur dengan konsentrat yang sudah mengandung molasis sehingga tingkat palatabilitasnya meningkat dan ternak mau memakannya,” tegas Dwi.
Sedangkan untuk proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan kapang Aspergilus niger sebagai inokulan. Prosesnya tongkol jagung digiling dilembabkan dengan air untuk mendapatkan kadar air 50 %. Kemudian dikukus selama 30 menit pada kondisi air mendidih untuk proses sterilisasi dan didinginkan. Setelah dingin tongkol jagung dicampur dengan starter suspensi kapang sebanyak 0,5 g per 100 g tongkol jagung.
Masing-masing campuran diaduk sampai merata dan dimasukkan dalam loyang plastik (tray). Selanjutnya difermentasi pada suhu ruang secara aerob selama empat hari, kemudian dilakukan proses enzimatis selama dua hari dengan cara dipadatkan dalam kantong plastik dengan kondisi hampa udara. ”Untuk proses fermentasi alurnya lebih panjang karena harus dikukus dulu dan memerlukan biaya yang lebih besar namun lebih ramah lingkungan ketimbang proses amoniasi,” papar Dwi.
Setiap metode memiliki kekurangan dan kelebihan, namun menurut Dwi yang cukup aplikatif dan memiliki hasil nutrisi yang baik yakni dengan metode amoniasi. Namun ia berpesan agar tetap harus memperhatikan keamanan lingkungan dengan cara menguapkan sisa amonia yang tidak terikat dengan tongkol jagung.
Dwi menginformasikan paling tidak dalam satu hari diperlukan rumput basah hingga 15 kg. Tetapi kalau menggunakan pakan alternatif dari tongkol jagung dengan proses silase diperlukan sekitar 9 kg per hari sedangkan untuk amoniasi diperlukan sekitar 7 kg per hari dan untuk proses fermentasi sekitar 7,5 kg per hari.
Dari uji coba yang telah dilakukan pada domba dengan pemberian pakan alternatif tongkol jagung 60 % dan konsentrat 40 % penambahan bobot hariannya (ADG /average daily gain) mencapai 85 gram per hari sedangkan jika pemberian konsentatnya 60 % dan pakan alternatifnya 40 % maka ADG-nya menjadi 125 gram per hari. ”Kalau untuk sapi kami belum uji cobakan secara langsung di lapangan. Tapi kalau untuk domba bisa, pasti di sapi juga bisa karena selektivitas makanan pada domba lebih besar ketimbang sapi yang bisa memakan apa saja,” jelas Dwi.
Comments
Post a Comment