Jenjet jagung
Musim panen jagung yang berlimpah di wilayah Kabupaten Lampung Selatan menjadi berkat tersendiri bagi pelaku usaha kecil menengah berbahan baku limbah jagung. Bahkan limbah jagung yang berlimpah tersebut justru dibakar atau dibuang untuk menjadi timbunan di areal pekarangan warga.
Potensi limbah pengolahan jagung dari pabrik pengolahan jagung yang ada
di Desa Sripendowo, Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan
Provinsi Lampung mengusik Sukirman (46) untuk mengubahnya menjadi barang
yang lebih bermanfaat. Sukirman mengaku awalnya ia memiliki seorang
yang sempat bertamu ke rumahnya serta tinggal di rumahnya pada tahun
2010 akhir. Sang tamu yang bernama mbah Toha (70) berjalan jalan di
sekitar desa yang mayoritas menjadi petani jagung.
Mbah Toha yang menginap di rumah Sukirman pun melihat salah satu pabrik
perontok jagung yang ada di sekitar Desa Sripendowo dan melihat banyak
jenjet (bekas limbah jagung yang tak terpakai berupa jagung tak berisi
yang terbuang mesin blower saat proses perontokan). Selain jenjet
tumpukan janggel (Jawa: tongkol jagung) pun terbuang di sekitar areal
pabrik dan hanya dibakar dan sebagian dipendam dan tak dimanfaatkan.
"Kenapa kamu tak melihat peluang untuk menghasilkan uang to Man, itu
banyak jenjet dan tongkol jagung yang bisa kamu olah untuk menjadi pakan
ternak sapi, kalau tak punya ternak sapi bisa kamu jual ke lingkungan
sini atau kamu bawa ke Jawa," kenang Sukirman mengisahkan awal mulanya
ia terjun dalam usaha pengolahan limbah jagung tersebut.
Kepada Cendananews.com, Rabu (15/4/2014) ia pun menceritakan bermula
dari kata kata mbah Toha yang akhirnya pulang ke Jawa dan entah kini di
mana keberadaannya, Sukirman akhirnya memutar otak untuk melakukan apa
yang dikemukakan oleh Mbah Toha.
"Mbah Toha kan hanya tamu dan numpang hidup di sini lalu dia pergi dan
sampai sekarang saya tak tahu dia berada di mana, tapi saya jalankan apa
yang dinasehatkan oleh beliau," ujar Sukirman.
Bermodal kemauan serta modal pinjaman, pada tahap awal Sukirman membeli
sebuah mesin penggiling tongkol jagung yang dalam sehari hanya mampu
menggiling tongkol jagung kurang dari 50 karung. USaha tersebut awalnya
hanya dijalankan dengan dua orang yang ia minta membantunya.
Tongkol jagung tersebut awalnya pun hanya menjadi pakan ternak pagi para
peternak sapi yang ada di sekitar Desa Sripendowo. Awalnya ia
menawarkan karung karung berisi tongkol dan jenjet yang sudah disiapkan
dan para peternak pun mengambil darinya dengan harga Rp 3.000,-
perkarung.
Setelah berjalan beberapa tahun Sukirman mengaku mulai memberanikan diri
untuk meminjam di bank untuk modal. Uang pinjaman dari bank tersebut
digunakan untuk menambah alat penggiling sehingga menjadi 3 unit alat
penggiling. Dua unit dioperasikan di rumahnya dan satu unit di rumah
sang adik yang dimintanya mengelola usaha sejenis karena berlimpahnya
limbah tongkol jagung.
Seiring perjalanan waktu tak hanya untuk wilayah sekitar Kecamatan,
bahkan akhirnya berkat informasi dari kawan ia bertemu dengan seorang
pengusaha ternak sapi di Cianjur Jawa Barat. Permintaan akan bahan baku
pakan ternak dari olahan tongkol jagung pun membuatnya harus mengejar
target karena pemilik ternak jagung minta dikirim dalam jumlah banyak.
"Tergantung orderan, kalau orderan sedang banyak kadang saya kirim dua
tiga mobil truk ke Cianjur sehingga siang malam saya giling tongkol
jagung di sini," ungkap Sukirman.
Bahkan Sukirman mengaku atas permintaan beberapa peternak lain ia pernah
mengirimkan dalam sekali pengiriman 300 hingga 500 karung tongkol
jagung giling. Karung karung tongkol jagung tersebut nantinya akan
dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi jenis pedaging atau sapi jenis
perah.
"Kami hanya mengirim salah satu bahan baku pakan, sebab setahu saya
pakan ternak ini nantinya akan dicampur dengan jenis makanan lain
sesampainya di peternakan," terang Sukirman.
Setelah tahun berganti, kini Sukirman mengaku sudah bisa mempekerjakan
sekitar 4 karyawan tetap, ditambah puluhan karyawan lepas yang bertugas
mengambil tongkol jagung dari para agen jagung atau dari masyarakat.
Upah yang diberikan kepada sopir untuk sekali angkut mobil yang
mengangkut tongkol jagung sebesar Rp 140.000,- dan untuk kuli bongkar
muat Rp80.000,-. Sementara perhitungan untuk pemilik tongkol atau petani
Sukirman mengaku sangat unik sebab sang agen biasanya tidak minta dalam
bentuk uang.
"Ada yang minta dalam bentuk semen dan dalam bentuk gorong gorong agar
jalan ke lokasi pengangkutan di rumah mereka lebih bagus maka saya
belikan," ungkap Sukirman.
Kini Sukirman mengaku sedang mendapat order untuk ke wilayah Bandung
serta Cianjur dengan target sekitar 5 ton lebih sehingga ia mengakui
harus mengejar target tersebut. Pembelian tongkol jagung kering bahan
baku pakan ternak tersebut diakui Sukirman dengan sistem tonase dimana
satu tonnya dihargai Rp225.000,- hingga Rp300.000,- per ton sesuai
kualitas gilingan kasar maupun halus. Permintaan dari tempat lain pun
sudah mulai banyak namun diakui Sukirman karena tenaga dan alat masih
sederhana tak semua permintaan diterimanya saat ini.
Sukirman yang memiliki satu orang istri dan seorang anak perempuan yang
sudah lulus SMA ini mengaku saat ini ia tak ingin mencari keuntungan. Ia
menuturkan masih ingin fokus untuk menambah gudang penyimpanan di
belakang rumahnya sehingga bisa untuk menyimpan stok tongkol jagung
sebelum digiling atau sesudah digiling dalam karung. Selain itu masih
ingin memutar modal yang ia miliki untuk mengembangkan usahanya agar
tetap berjalan dan bisa menggaji para karyawan yang telah membantunya.
Ia juga mengaku ingin agar beberapa pemuda yang ada di desa tersebut
memiliki pekerjaan dengan menjadi pengolah tongkol jagung yang merupakan
limbah di tempat tersebut. Sukirman ingin mengubah tongkol jagung atau
jenjet menjadi lebih bernilai dan menjadi uang. Bahkan kini ia berani
memasang plang "Usaha Mandiri" di depan rumahnya agar usahanya tersebut
semakin dikenal.
Comments
Post a Comment