Jagung bertongkol banyak
Selain
arealnya yang makin terbatas, ekstensifikasi juga berpotensi menggeser
komoditas lain, yakni padi. Itulah sebabnya kini peningkatan produksi
salah satunya terfokus pada penggunaan benih unggul, antara lain hibrida
yang penggunaannya mencapai 43,7% atau 25.120 ton pada 2007. Jagung
hibrida memang punya potensi hasil yang relatif tinggi, 6—8 ton per,
dibandingkan benih jagung komposit yang hanya 3—4 ton per ha.
Agar
potensi genetik tanaman dapat optimal, maka harus didukung pola
budidaya yang baik. “Budidaya itu terkait dengan cara dan pola tanam,
pemupukan, perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit, serta
pascapanen,” jelas Azrai, peneliti jagung di Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros, Sulsel. Caranya, dengan budidaya terpadu yang
menerapkan berbagai komponen teknologi sehingga memberikan pengaruh yang
sinergis terhadap tanaman.
Di
Indonesia, benih jagung hibrida diproduksi oleh 10 institusi, baik
swasta maupun lembaga penelitian milik pemerintah, serta perguruan
tinggi. Merek benih jagung yang banyak beredar, antara lain BISI,
Pioneer, NK, DK, Jaya, dan SHS. Benih tersebut dihasilkan perusahaan
multinasional, seperti Pioneer Overseas Corp, Charoen Seed Co, Ltd, PT
Novartis, dan PT Asian Hybrid Seed Technologies. Sedangkan varietas
jagung hasil penelitian lembaga riset nasional, antara lain Semar, Bima,
Bima-Bantimurung, dan Andalas.
Menurut
Azrai, penggunaan benih jagung sebaiknya disesuaikan dengan kondisi
lahan yang akan digunakan. Jika tanahnya subur, menengah, sampai sangat
subur, disarankan untuk memilih benih hibrida. Sebaliknya, jika lahan
yang digunakan tergolong kritis, jenis kompositlah yang dipilih. “Jadi,
yang penting petani punya komitmen untuk merawat tanamannya dengan
baik,” katanya lagi.
Hal
itu dibuktikan Rins Sirton Antonin Malau alias Anton “Pacul”, petani
jagung di kawasan Pantai Rancabuaya, Desa Purbayani, Kec. Caringin, Kab.
Garut, Jabar. Di tangan mantan pegawai PT Freeport Indonesia ini,
jagung komposit varietas Sukamaraga bisa berproduksi rata-rata 9 ton
jagung pipilan kering. Dua kali lipat dari rata-rata produksi jagung
komposit nasional.
Namun
demikian, Anton mengakui menemui hambatan utama dalam pengembangan
jagung di wilayahnya. “Masalahnya adalah keterbatasan alsintan (alat dan
mesin pertanian), mulai dari penyediaan hand tractor,
traktor roda empat, mesin tanam, hingga mesin pengering,” ungkapnya.
Untuk menjaga kualitas produksi, sementara ini ia menggunakan mesin
pengering (drier) berkapasitas 3—4 ton buatan sendiri.
Keterbatasan
alsintan juga dialami F. Alexander FW, Direktur Utama PT Teora
Triberkah Abadi, perusahaan yang bermitra dengan sejumlah petani jagung
di Sukabumi, Jabar. Menurutnya, peningkatan produksi jagung tidak
mungkin terwujud jika hanya
mengandalkan tenaga manusia. Karena itu, pria yang biasa disapa Alex
Jagung ini mengusulkan selain subsidi benih sebaiknya pemerintah juga
memberikan subsidi alsintan.
“Di Indonesia, teknologi paling mentok hand tractor,”
cetus Alex. Selain itu saat penanaman masih banyak memanfaatkan tugal.
Padahal, di luar negeri, seperti Brasil misalnya sudah menggunakan mesin
tanam. Intinya, kata dia, peningkatan produktivitas itu harus diikuti
dengan teknologi. “Kalau semua manual biayanya malah lebih tinggi dan
hasilnya juga pasti tidak maksimal,” katanya lagi.
Pemupukan Berimbang
Hal
lain yang menentukan keberhasilan usaha tani jagung adalah perawatan
tanaman, terutama pemupukan. Selain tepat waktu, pemupukan juga harus
tepat dosis. Pemupukan juga terkait dengan kesuburan tanah. “Jadi kita
memupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kalau dipaksakan malah akan
menghambur-hamburkan pupuk saja. Pemupukan yang benar adalah yang
berimbang, baik dosis maupun komposisinya,” ujar Azrai.
Pemupukan
pertama biasanya dilakukan pada 1—10 minggu setelah tanam. Pemupukan
kedua diberikan 28—35 hari setelah tanam. Kadang juga diperlukan
pemupukan ketiga, sewaktu tanaman menjelang berbunga. Pupuk sebaiknya
tidak diberikan dengan cara dihamburkan ke dekat tanaman tapi ditugal.
Dengan cara ini, pupuk terhindar dari penguapan, terutama unsur Nitrogen
(N).
Tanaman
jagung umumnya membutuhkan unsur hara makro primer, makro sekunder, dan
mikro esensial untuk pertumbuhan, yang dosisnya berbeda-beda menurut
jenis tanahnya. Unsur hara makro primer terdiri dari nitrogen, fosfat,
dan kalium (NPK), unsur hara makro sekunder adalah magnesium, selenium,
dan kalsium (Mg, S, dan Ca), sedangkan unsur hara mikro esensial, yaitu
besi, boron, tembaga, mangan, seng, dan klor (Fe, Bo, Cu, Mn, Zn, Cl).
Selain
pupuk kimia, petani seperti Anton Pacul mengombinasikannya dengan pupuk
organik dan suplemen tanaman. “Saya menggunakan pupuk kandang sebagai
pupuk dasar dan guano (pupuk dari kotoran kalelawar) untuk cor yang
jumlahnya kira-kira 4 kuintal,” ujar Anton. Dosis pupuk kimianya 300—350
kg per ha, ditambah suplemen tanaman SozoFM-1 Agriculture yang diberikan lima kali dalam sekali musim tanam.
Penyemprotan
Sozo pertama dilakukan hari ke-14, selanjutnya hari ke-28, 32, 46, dan
56. Dosisnya 3—4 tetes per liter, sedangkan volume air yang dibutuhkan
sekali penyemprotan sebanyak 200 liter. Anton
mengakui, sebelumnya ia membuat percobaan di lahan seluas satu hektar
sebelum akhirnya mendapat dosis yang paling baik. “Dengan dosis
tersebut, tampilan tanaman menjadi tinggi, besar, batang kokoh, dan
bertongkol besar,” tegasnya.
Karena
itu, masih menurut Anton, ketersediaan pupuk harus menjadi prioritas
pemerintah. Jika petani membutuhkan sementara pupuk tidak ada, tanaman
akan hancur. “Bila pupuk akhirnya datang, sudah terlambat, ya akan
percuma. Sama seperti ngurus bayi, bila kecilnya sehat, besarnya nanti akan sehat. Kalau sudah sakit mau diapain?” tukasnya.
Comments
Post a Comment